Syair Sebagai Identitas Bahasa dan Budaya Bangsa Arab Kuno

UPI Humanika
5 min readApr 24, 2024

--

Oleh Ibnu Athoillah (Sastra Arab 2022)

Bangsa arab adalah bangsa yang besar. Dikatakan sebagai salah satu bangsa tertua dalam sejarah peradaban dunia. Bangsa arab masa kuno hidup di lingkungan yang tandus dan berpasir serta mengalami pergantian musim yang hanya terjadi dua kali, yaitu panas dan dingin. Mayoritas penduduk pada masa itu bermata pencaharian sebagai pedagang dan petani. Agama dan kepercayaan bangsa arab kuno terimplikasi pada kepercayaan kekuatan gaib terhadap para leluhur mereka, sehingga rata – rata penganut kepercayaan dinamisme dan animisme adalah mereka yang menyembah berhala dan benda – benda sekitar sebagai wujud implementasi atas keyakinan yang mereka anut. Masyarakat Arab kuno hidup bersuku – suku dalam beberapa kafilah keluarga. Nasab menentukan struktur sosial masyarakat Arab pada masa itu dan kemuliaan suatu suku ditentukan oleh seberapa tinggi dan luhur nasab mereka. Inilah sebabnya peperangan antar suku kerap sekali terjadi pada masa itu. Dalam hal budaya, salah satu bentuk budaya bangsa Arab kuno adalah warisan nenek moyang mereka yang berupa budaya lisan dan apresiasi yang tinggi terhadap retorika dan puisi.

Sebagai bangsa tertua, tentu saja bangsa Arab memiliki banyak sekali hasil kebudayaan, yang diantaranya ialah karya sastra. Sastra Arab berkembang sejak zaman jahiliyah atau zaman Arab kuno. Karya sastra adalah simbol peradaban suatu bangsa. Dan dari karya sastra pula dapat diketahui bentuk kebudayaan suatu masyarakat pada zaman tertentu. Jikalau masyarakat Yunani kuno membuat patung melalui pahatan tangan, maka masyarakat Arab kuno justru lebih menyukai puisi sebagai bentuk pengungkapan ekspresif akan kemampuan dalam pengetahuan bahasa dan kebudayaan. Di kalangan masyarakat Arab saat itu, kemampuan bersyair dianggap sebagai pengakuan atas kecerdasan intelektual dalam berbahasa. Hal ini tergolong unik dikarenakan syair merupakan salah satu karya sastra yang mengharuskan penggubahnya untuk memiliki pengetahuan yang mendalam terkait kosa kata suatu bahasa agar dapat memilih diksi yang tepat nan indah.

Bagi bangsa Arab, kecerdasan intelektual tertinggi bukanlah kecerdasan dalam hal membaca dan menulis, melainkan kecerdasan dalam menggubah syair. Keterasingan dari peradaban luar dan fokus kehidupan sosial yang memfokuskan survival peperangan antar suku mengakibatkan masyarakat Arab kuno buta akan aksara. Melalui syair seseorang dinilai memiliki rasa estetika dan kepiawaian dalam berbahasa. Syair memiliki sebuah nilai tersendiri dalam budaya masyarakat Arab. Bagus atau tidaknya suatu syair ditandai dengan seberapa dalam makna suatu syair yang digubah. Dalam sebuah riwayat Rasulullah SAW. pernah bersabda : “inna min al-bayani sihran” yang artinya termasuk dari retorika (syair) adalah sihir (sesuatu yang mistis). Hal ini menjelaskan mengapa ketika Rasulullah SAW. membawakan Al – Quran pada masyarakat Arab, mereka terpengaruh dengan isi dan tingginya retorika kebahasaan dalam Al – Quran.

Syair pada masa Arab jahiliyah mulanya merupakan hasil dari proses alami pola bertahan hidup masyarakat arab sebelum mereka yang pada mulanya ditujukan sebagai penghibur jiwa dari rasa kesepian. Esensi estetika mereka akan retorika terbentuk dari olah rasa dalam menghadapi ganasnya kehidupan membuat mereka peka akan lingkungan sekitar mereka. Hingga klimaksnya mereka mampu untuk menggubah kalimat puitis dan membentuk ritme tertentu dalam keindahan berpuisi. Ada dua unsur utama yang digunakan dalam mekanisme pembentukan syair klasik, yaitu wazan dan qafiyah. Wazan adalah patokan yang digunakan dalam membuat syair, sedangkan qafiyah adalah bunyi akhir bait. Ilmu yang membahas tentang ritme puisi disebut ilmu arudl wa al-qawafi. Ritme tersebut sebagaimana dimuat dalam suatu definisi, syair klasik adalah ungkapan yang berwazan dan ber-qafiyah yang mengungkapkan keindahan imajinasi dan penggambaran yang mengesankan. Syair inilah yang kemudian menjadi implementasi penuangan ekspresi mereka melalui ungkapan – ungkapan dalam kehidupan sosial mereka.

Masyarakat Arab sangat bangga dengan bahasa dan budaya yang mereka miliki. Hal ini kemudian yang menjadikan puisi sebagai identitas masyarakat Arab pada masa itu. Saking bangganya mereka dengan budaya yang mereka miliki, mereka sering kali melakukan kompetisi untuk menentukan siapa yang paling cerdas di antara mereka dalam bersyair. Kompetisi ini kemudian menghasilkan sepuluh orang terbaik yang terpilih sebagai pemenang kompetisi tahunan di Pasar Ukazh. Karya mereka nantinya ditulis dengan tinta emas kemudian akan digantungkan di dinding Kakbah agar semua orang dapat melihat gubahan keindahan syair – syair tersebut. Karya syair ini dikenal dengan sebutan al-muallaqat (yang digantungkan).

Pada masa jahiliyah, masyarakat Arab kuno melantunkan syair sebagai ungkapan ekspresif untuk menggambarkan suatu hal. Meskipun masyarakat Arab pada masa itu hidup di lingkungan yang sangat terbatas dalam lingkup ruang dan waktu, di mana seharusnya perolehan kosa kata dapat terbilang sangat terbatas dalam konteks penggubahan syair, hal ini tidak menghalangi masyarakat arab untuk tetap bersyair. Gurun pasir, unta, langit, dan masyarakat pedagang adalah pemandangan yang paling sering dilihat dalam budaya kehidupan bangsa Arab jahiliyah. Dan tentu saja kosa kata itu akan sangat terbatas apabila dibandingkan dengan masyarakat yang tinggal di wilayah pegunungan dan musim yang berganti empat kali dalam setahun. Namun uniknya masyarakat Arab dapat menghasilkan syair yang indah hanya dengan kosa kata yang terbatas. Tentu saja fakta ini tidak terlepas dari kekayaan bahasa Arab itu sendiri dengan padanan satu kosa kata yang memungkinkan untuk diungkapkan dengan ribuan hingga jutaan kosa kata.

Selain berfungsi sebagai bentuk penggambaran deskriptif terkait suatu hal, syair pada masa jahiliyah juga ditujukan untuk memuji orang lain (madh). Beberapa sastrawan juga menggunakan syair untuk tujuan politik dengan memuji penguasa, dengan tujuan untuk memenuhi keinginan politik agar dapat memperoleh kedudukan di sisi penguasa. Seorang penguasa kuno Arab hendaknya memiliki seorang penyair yang berperan sebagai juru politik, seperti dalam peperangan antar suku. Dalam tradisi masyarakat Arab kuno, sebelum memulai peperangan, kedua pihak yang berperang diharuskan mengirim delegasi penyair untuk saling beradu melantunkan syair. Syair yang dilantunkan ditujukan untuk merendahkan lawan politik sebagai bentuk hinaan (hija‘). Dalam contoh lain, syair ditujukan untuk membakar semangat juang pasukan dalam peperangan dengan syair semangat (fakhr) dan meratapi keluarga yang mati dalam peperangan dengan syair ratapan (ratsa‘) sebagai bentuk pengenangan atas jasa – jasa heroisme mereka.

Selain hidup dalam gemerlap politik, syair pada zaman Arab kuno juga terimplementasikan dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Sebuah syair dapat ditujukan sebagai bentuk permintaan maaf (i’tidzar) kepada sesama manusia dan penebusan dosa kepada Tuhan. Dalam beberapa kasus, masyarakat juga menggunakan syair sebagai ajang bersilat lidah untuk memikat pujaan hatinya dengan gombalan – gombalan rayuan cinta (gazal atau tasybib).

Begitulah mengapa sebuah syair pada zaman Arab kuno menjadi identitas bagi masyarakat pada masa itu. Puisi merasuk ke dalam setiap kehidupan masyarakat. Mulai dari politik, kehidupan sosial dan budaya, hingga bentuk ungkapan ekspresif yang dirasakan oleh manusia pada masa itu. Puisi juga digunakan untuk menggambarkan imajinasi deskriptif terhadap suatu hal, mulai dari lingkungan padang pasir tandus hingga kehidupan masyarakat. Puisi adalah warisan budaya leluhur bangsa Arab yang hingga saat ini masih terus berkembang dan bertransformasi sebagai suatu karya sastra yang menjadi ciri khas masyarakat Arab yang bernilai.

Daftar Pustaka

Azis Anwar Fachrudin (2021). Linguistik Arab: Pengantar Sejarah dan Mazhab. Yogyakarta: DIVA Press.

--

--

UPI Humanika

Sebuah Badan Semi Otonom (BSO) yang bergerak dalam bidang unit penalaran ilmiah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada