Dunia Esek Esek Jakarta: Lokalisasi Kramat Tunggak (1971–1999)

UPI Humanika
5 min readSep 22, 2024

--

Oleh Junnio Chelsa PS (Sejarah 2022)

Latar Belakang

Melihat Kota Jakarta, sebuah kota metropolitan, seperti juga melihat dan membaca runtutan panjang akan berbagai kejadian atau peristiwa di masa lalu. Kota yang juga merupakan ibukota RI ini mengalami perkembangan pesat dan perkembangan itu disebabkan berbagai faktor seperti sosial, ekonomi, budaya, dan lain sebagainya. (Dion P. Sihotang, 2011: 2–4). Perkembangan pesat Kota Jakarta ini juga diikuti oleh timbulnya berbagai masalah sosial layaknya kota-kota besar lainnya seperti masalah kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, pemukiman kumuh, sampai masalah prostitusi, (Fikri, 2011: 1).

Prostitusi yang terdapat di Jakarta setidaknya sudah ada sejak masa kolonial Belanda dan saat Jakarta masih bernama Batavia. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Susan Blackburn, di Batavia pada abad ke-19 lazim terjadi fenomena hubungan seksual di luar nikah di antara laki-laki Eropa dan Cina dengan perempuan Indonesia. Selain itu, praktik prostitusi juga diakui secara resmi oleh pemerintah. (Susan Blackburn, 2011: 108). Prostitusi yang ada di Jakarta ini tetap bertahan sampai ketika Indonesia sudah merdeka. Faktor pendorong prostitusi di Jakarta pada masa ini disebabkan oleh berbagai faktor, seperti citra Jakarta sebagai ibukota negara, tingginya arus urbanisasi ke Jakarta, dan kurangnya lapangan kerja. Berbagai faktor itu menjadi pendorong semakin merebaknya prostitusi di Jakarta pada 1950-an. (Lamijo: 11). Mengutip dari Madjalah Kotapradja sebagaimana dirujuk dari Susan Blackburn, di Jakarta pada tahun 1952 terdapat setidaknya 20.000 Pekerja Seks Komersial. (Susan Blackburn, 2011, 108).

Di tahun 1960-an, wilayah administrasi Jakarta Utara paling banyak dijadikan tempat prostitusi, seperti Cilincing, Koja Utara, Kalibaru, Pejagalan, Pademangan, Penjaringan, Tugu, Semper, dan Legoa. Tempat prostitusi lainnya di Jakarta pada medio 1950–1960-an adalah Senen, yang sampai terkenal dengan sebutan Planet Senen, Bongkaran-Tanah Abang, Bina Ria-Ancol, Kalijodo, dan Rawa Bangke. (Fikri, 2011, 19–21).

Kramat Tunggak: Prostitusi yang Dilegalkan

Saat Jakarta dipimpin oleh gubernur Ali Sadikin, yang mulai menjabat pada 28 April 1966. (Ramadhan, 1993: 18), pelacuran menjadi salah satu masalah yang sukar dihadapinya dan susah pula untuk memberantasnya. Ali Sadikin saat itu memilih untuk melokalisasi mereka ke suatu tempat setelah ia melakukan studi banding ke Bangkok, Ibukota Thailand dan dengan tujuan lain supaya lebih mudah mengawasi mereka dan mencegah meluasnya penyakit kelamin. Kramat Tunggak yang berada di Jakarta Utara kemudian dipilih oleh Ali Sadikin sebagai lokalisasi para perempuan pekerja seks komersial karena tempatnya masih berupa rawa-rawa. (Ramadhan, 1993: 205–206).

Pembangunan lokalisasi Kramat Tunggak ini resmi dimulai di tahun 1971 setelah sebelumnya dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada para mucikari dan pekerja seks komersial. Di awal beroperasinya, para pekerja mulai menempati Kramat Tunggak berasal dari tempat prostitusi Pela-Pela, Bendungan, Kalibaru, dan Koja. (Fikri, 2011: 33–38). Di Kramat Tunggak, bangunan yang ada tidak hanya sekedar rumah-rumah untuk transaksi seksual, tetapi juga terdapat bangunan untuk Panti Rehabilitasi Sosial, Mushola At-Taubah sebagai pembinaan agama, dan pos keamanan yang biasanya mengkaryakan preman sekitar lokalisasi. Pada tahun awal beroperasinya, di Kramat Tunggak terdapat sekitar 300 anak asuh dengan dikomandoi oleh 76 pengasuh atau mucikari.

Seiring berjalannya waktu, jumlah anak asuh yang awalnya 300-an orang lambat laun meningkat seiring berjalannya waktu. Di tahun 1978 saja, jumlah anak asuh meningkat tajam menjadi 1700-an orang dengan 231 pengasuh. Jumlah ini meningkat menjadi 2000-an anak asuh dan 228 germo. (Endang, 2010: 88, Fikri, 2011: 42). Kramat Tunggak bukan hanya menjadi tempat transaksi seksual semata, tetapi juga menjadi sentra kegiatan ekonomi lainnya. Sebagaimana disebutkan oleh Kiki dalam Maila Rahiem dan Cut Nourwahida, selain dihuni oleh para pekerja seks dan mucikari, di Kramat Tunggak juga terdapat sekitar 700 pembantu pengasuh, 800 pedagang asongan, tukang ojek, dan tukang cuci. Bar, klub malam pun juga turut menghidupkan lokalisasi Kramat Tunggak. (Fikri, 2011: 47, Maila dan Cut Nourwahida, 2023: 146). Para pelanggan yang berdatangan ke Kramat Tunggak berasal dari berbagai kalangan, seperti masyarakat sekitar Pelabuhan Tanjung Priok, pekerja Pelabuhan, sampai kalangan orang dinas. Sedangkan anak-anak dan hewan peliharaan dilarang masuk.

Menariknya lokalisasi Kramat Tunggak ini juga dijadikan sebagai tempat rehabilitasi bagi para pelacur di sana. Program rehabilitasi ini meliputi pemeriksaan kesehatan oleh puskesmas sekitar setiap satu bulan sekali dan juga rehabilitasi mental melalui lembaga agama. (Fikri, 2011: 48–49). Di tahun 1980-an, ketika bahaya mengenai penyakit AIDS mengintai, Departemen Kesehatan dengan cekatan membangun poliklinik dekat lokalisasi, menerjunkan tim dan membagikan brosur terkait AIDS.

Pro-Kontra Legalisasi Lokalisasi Kramat Tunggak

Di awal ketika Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin melemparkan bola ide melokalisasi para pekerja seks itu ke Kramat Tunggak, dengan segera suara-suara penentangan meluncur deras. Ny, Sjamsinoer Adnoes, ketua Kesatuan Aksi Wanita Indonesia (KAWI) pusat melabeli tindakan Ali tersebut sebagai praktek eksploitasi manusia, merendahkan derajat kaum perempuan, dan mengusulkan untuk memberikan sanksi kepada para mucikari. (Ramadhan, 1993: 206). Pendapat kontra juga banyak dilontarkan oleh berbagai kalangan, terutama kalangan Islam, yang memandang bahwa praktik prostitusi bertentangan dengan ajaran agama.

Pendapat yang setuju terhadap lokalisasi Kramat Tunggak ini disampaikan oleh K.H. Harun Al Rasyid, Ketua bidang Kesejahteraan Rakyat DPR RI 1966–1972 dari fraksi Partai Nahdlatul Ulama dengan syarat bahwa lokalisasi tersebut bukan solusi akhir dari masalah pelacuran dan dengan tujuan supaya dapat mengurangi resiko penyakit menular. (Fikri, 2011: 51–52).

Jakarta Islamic Center: Pengubur Kelam Kramat Tunggak

Sebagaimana disebutkan oleh Nur Hidayat dan Aiyo Mukti, prostitusi bagi masyarakat Indonesia selama ini dicap sebagai tempat yang selalu negatif karena dianggap sebagai tempat kejahatan terhadap moral dan bertentangan dengan hukum. (Nur Hidayat dan Ariyo Mukti, 2019). Hal berlaku juga dengan lokalisasi Kramat Tunggak yang dianggap sebagai sumber degradasi moral sehingga masyarakat dan para ulama mendesak penutupan kawasan prostitusi tersebut. Aspirasi tersebut ditanggapi oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan SK gubernur No. 495/1998 tentang penutupan lokalisasi Kramat Tunggak selambat-lambatnya akhir Desember 1999. Tanggal 31 Desember 1999, lokalisasi Kramat Tunggak resmi ditutup melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 6485/1998. (Maila dan Cut Nourwahida, 2023: 147). Selanjutnya, di atas lahan bekas lokalisasi Kramat Tunggak tersebut oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Sutiyoso dialihfungsikan menjadi lokasi Masjid Jakarta Islamic Center yang diresmikan di tahun 2003.

DAFTAR PUSTAKA

Artikel Jurnal

Maila D.H. Rahiem dan Cut Dhien Nourwahida. Perubahan Sosial Masyarakat Kramat Tunggak Pasca Berdirinya Masjid Jakarta Islamic Center. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Malikussaleh (JSPM) Volume 4 Nomor 1 Tahun 2023.

Nur Hidayat Sardini dan Ariyo Mukti. Kebijakan Penutupan Lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang Tahun 2019. Journal of Politic and Government Studies, vol. 11, no. 1, pp. 300–317, Dec. 2021.

Buku

Blackburn, Susan. Jakarta Sejarah 400 Tahun. Jakarta: Masup Jakarta. 2011.

Dion. P. Sihotang. Sejarah Singkat Kota Jakarta. Jakarta: Lestari Kiranatama. 2011.

Endang R. Sedyaningsih-Mamahit. Perempuan-Perempuan Kramat Tunggak. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 2010.

Ismail, Asih Widiarti, Dani Muhadiansyah, Evan Koesumah. Kramat Tunggak, Salah Satu Lokalisasi Besar di Indonesia. Jakarta: Tempo Publishing. 2023.

Ramadhan K.H. Bang Ali Demi Jakarta (1966–1977). Jakarta: Sinar Harapan. 1992.

Publikasi Elektronik

Lamijo. Prostitusi di Jakarta dalam Tiga Kekuasaan, 1930–1959.

Skripsi

Fikri. Lokalisasi Kramat Tunggak Pada Masa Ali Sadikin: 1971–1977. Skripsi. Depok: Universitas Indonesia. 2011.

--

--

UPI Humanika

Sebuah Badan Semi Otonom (BSO) yang bergerak dalam bidang unit penalaran ilmiah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada