Dari Piter menjadi Pit Asmoro: Awal Nasionalisme Seorang Sinyo dalam Memperjuangkan Identitas melalui Wayang Kulit Jawa Timuran Subgaya Trowulan

UPI Humanika
4 min readSep 14, 2024

--

Oleh M. Siswoyo (Bahasa, Sastra, dan Budaya Jawa 2022)

“Sri Nåråpati duk irå”, fragmen syair sulukan purwa seba sebagai penanda dari wayang kulit Jawa Timuran subgaya Trowulan yang dipopulerkan oleh Ki Pit Asmoro. Trowulan merupakan salah satu nama daerah di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur. Berbicara tentang Trowulan, tentunya pemikiran kita secara otomatis mengarah kepada Kerajaan Wilwatikta di masa silam. Pikiran membayangkan sisa-sisa artefak kejayaan Majapahit yang kiranya dapat dijumpai di daerah Trowulan. Berdasarkan Data Monografi per tahun 2014, Trowulan merupakan daerah paling barat Kabupaten Mojokerto yang berbatasan dengan wilayah Jombang. Luas wilayah Kecamatan Trowulan kisaran 3.704.320 Ha. Trowulan ini memiliki potensi kebudayaan yang tersebar di tiap-tiap desa. Candi Bajang Ratu di Desa Temon, Pendopo Agung di Desa Trowulan, hingga Candi Brahu dan Patung Budha Tidur di Desa Bejijong. Dewasa ini, Desa Bejijong ditetapkan menjadi destinasi desa pilihan dengan pengoptimalan sektor wisatanya. Dalam dunia kesenian, Bejijong merupakan desa monumental karena wayang kulit subgaya Trowulan pernah menjadi mercusuar dengan pelopor Ki Pit Asmoro di daerah ini.

Selayang Pandang Genealogi Ki Pit Asmoro

Trowulan dan Ki Pit Asmoro adalah bentuk relasi alamiah. Praktik pedalangan dari Ki Pit Asmoro populer dikenal dengan sebutan wayang kulit Trowulanan atau wayang kulit Mojokertoan. Hal tersebut terjadi karena Ki Pit Asmoro tinggal di daerah Trowulan Mojokerto sehingga komunitas penikmat wayang kulit memberikan sebutan tersebut berdasarkan tempat dalang berasal. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang dalam kelompok sosial dalang Trowulanan, Ki Pit Asmoro memiliki nama kecil Piter, kadang juga ditulis dengan ejaan Pieter. Beliau merupakan anak dari pasangan Dewi Arimbi dengan — laki-laki Belanda yang disebut — Tuan Mokek. Menurut Niyoto Hernowo, suami Arimbi dinamakan Tuan Mokek karena bekerja di Pabrik Tebu Mojoagung Jombang. Tuan Mokek adalah salah satu orang Belanda yang ikut negaranya ke Indonesia dan bekerja beberapa waktu di Pabrik Tebu Mojoagung. Dalam fase menetap di Indonesia tersebut, Tuan Mokek menikahi Dewi Arimbi dan memiliki anak dengan perawakan gagah yang dikenal dengan Piter.

Masa kecil Piter merupakan seorang sinyo, yaitu anak laki-laki peranakan Eropa dengan status belum menikah. Niyoto Hernowo menjelaskan bahwasanya Piter kecil sering digendong Dewi Arimbi untuk menemaninya berdagang di Pasar Brangkal, Sooko, Mojokerto. Melalui peristiwa tersebut, terdapat seseorang yang mengetahui ada sinyo di pasar dan lapor kepada Mbah Condro. Mbah Condro merupakan dalang wayang kulit yang bertempat tinggal di daerah Miagan dan belum mempunyai anak. Ketika mendapat laporan sedemikian rupa, Mbah Candra berkeinginan untuk mengangkat sinyo tersebut menjadi anak angkat. Kesepakatan tercapai antara Dewi Arimbi dengan Mbah Condro. Selanjutnya, Piter diajak ke rumah Mbah Condro.

Awalnya, Mbah Condro adalah penari wayang topeng yang berasal dari Madiun. Ketika bertransformasi menjadi dalang wayang kulit, beliau memiliki nama panggung Ki Sastra Candra atau ada yang menyebutnya dengan Ki Candrawisastra. Dalam buku Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan Jilid I karangan Soenarto Timoer (1988), menjelaskan bahwasanya Ki Candrawisastra pernah menjadi guru dalang dalam Pendidikan pedalangan Jawa Timuran yang diinisiasi oleh Bupati Mojokerto kisaran tahun 1930-an. Dari proses pendidikan dalang tersebut, salah satu muridnya adalah Piter, yaitu anak angkat Mbah Condro sendiri.

Piter mewujudkan sosok yang memiliki rasa ketertarikan tinggi terhadap dunia pewayangan. Nasionalisme hadir pada jiwanya, meskipun bapaknya adalah orang Belanda. Nasionalisme merupakan kesadaran personal dalam berbangsa yang memiliki potensial dalam mencapai dan mempertahankan identitas bangsa. Kebudayaan sebagai jati diri negara menjadi titik berat Piter dalam mempelajari, memahami, dan berinovasi. Ketekunan tersebut membawa kepopuleran dalam pewayangan Jawa Timuran. Pergantian masa menjadikan nama Piter jarang dikenal, banyak orang menyebutnya dengan dalang Ki Pit Asmoro. Sekitar tahun 1970-an, di Trowulan diselenggarakan pembelajaran kursus pedalangan Jawa Timuran yang dipimpin oleh Ki Pit Asmoro. Kursus tersebut adalah bentuk pengarahan dari Seksi Kebudayaan Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Mojokerto (Timoer, 1988). Ki Pit Asmoro merupakan salah satu dalang Jawa Timuran yang mendapat penghargaan dari pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI berupa piagam dan lencana “Anugerah Seni 1972” di bidang pedalangan, khususnya gaya Jawa Timur (Timoer, 1988).

Perjuangan Ki Pit Asmoro dalam Dunia Pedalangan

Pembelajaran Ki Pit Asmoro dalam pedalangan tidak hanya berfokus kepada Mbah Condro. Beliau pernah berguru kepada Ki Gunarso yang berasal dari Surabaya. Ki Pit Asmoro memiliki banyak teman dari proses berguru ini, di antaranya adalah Ki Sastro Utomo dan Ki Suwoto. Dalang-dalang kondang Jawa Timuran dimulai dari era ini, yaitu Ki Sastro Utomo sebagai dalang Waruan, Ki Suwoto Ghozali dengan wayang Porongan, dan Ki Pit Asmoro yang kondang dengan praktik pedalangan Trowulanan. Tiga dalang tersebut dapat dikatakan sebagai maestro awal pedalangan Jawa Timuran.

Ki Pit Asmoro merupakan sosok yang kreatif dan tidak kenal lelah dalam belajar. Variasi-variasi baru dalam dunia pedalangan dihadirkan untuk menambah estetika pertunjukan. Tari Remo yang awalnya menggunakan gaya putri, diperbarui dengan menampilkan Remo gaya putra. Selain itu, bedhol kayon dalam Gendhing Gandakesuma yang mulanya hanya terdiri dari satu kayon diubah menjadi dua kayon oleh Ki Pit Asmoro. Menurut tuturan Niyoto Hernowo, Ki Pit Asmoro memiliki ketekunan dalam membaca, khususnya membaca majalah Joko Lodhang dan Panyebar Semangat. Hasil dari bacaan tersebut diekspresikan dalam pergelaran wayang melalui catur pedalangannya. Hal tersebut yang melatarbelakangi diksi dalam catur Ki Pit Asmoro memuat sastra yang khas, tidak condong ke bahasa Jawa Mataram, tetapi tidak sekasar bahasa Jawa dialek Surabaya. Ki Pit Asmoro menjadi sosok yang dikenang sebagai maestro pedalangan Trowulan.

Daftar Pustaka

Sumber Internet

Imam Tirto Salamun Channel. (2020, 16 Juni). Mengenal Maestro Pedalangan Trowulanan “Ki Piet Asmoro”. [Video]. Dari https://www.youtube.com/watch?v=_JoVtiWmwug pada 6 September 2024 pukul 16.53.

Imam Tirto Salamun Channel. (2020, 27 Juni). Mengenal Maestro Pedhalangan Gagrak Trowulanan “Ki Piet Asmoro” bersama Ki Hernowo. [Video]. Dari https://www.youtube.com/watch?v=8Pc9yyQXpR0&t=649s pada tanggal 6 September 2024 pukul 16.50.

Sumber Buku

Timoer, S. (1988). Serat Wewaton Padhalangan Jawi Wetanan Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

--

--

UPI Humanika

Sebuah Badan Semi Otonom (BSO) yang bergerak dalam bidang unit penalaran ilmiah dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada